Kamis, 27 November 2014
Mengapa Tawuran antar Pelajar Masih Sering Terjadi?
03.12 | Diposting oleh
dewi nur anjani |
Edit Entri
Mengapa Tawuran Pelajar Masih
Terjadi?

sumber:
Tribunnews.com
Tawuran akan hilang bila ada kerjasama dari semua
pihak. Mereka yang tawuran sering kali bingung menjawab kenapa mereka bisa
menjadi seperti itu. Alasannya, karena soladiritas dengan temannya yg satu
sekolah. Ketika sekolah mereka diserbu oleh sekolah lain, tentu harus
mempertahankan diri.
Tapi bukan itu inti maslahnya. Kurangnya pendidikan
agama dalam keluarga menjadi sesuatu yg harus dipikirkan oleh para orang tua
dan guru.
Rasanya saya harus berkata, bahwa tenaga anak muda itu
besar, dan kalau tidak disalurkan akan berakibat negatif seperti tawuran.
Solusi paling efektif adalah menambah kegiatan-kegiatan positif di lingkungan
rumah dan sekolah seperti main bola, ikut ekskul, dan la masih banyak lainnya.
Sedih sekali melihat anak muda kita saling membunuh.
Tawuran antar pelajar menjadi keprihatinan kita bersama. Mengapa mereka bisa
tawuran? Apakah penyebabnya? Mengapa yang mati justru mereka yang tidak ikut
tawuran? Mengapa anak sekolah membawa senjata tajam, dan bukan buku?
Sejuta tanya dalam benak saya sebagai seorang
pendidik. Sedih rasanya melihat peserta didik kita terluka akibat tawuran. Hal
yang lebih sedih lagi, bila peserta didik kita mati akibat tawuran. Padahal,
tidak sekalipun anak itu ikut tawuran. Hanya saja, takdir Allah merenggut
nyawanya menjadi korban tawuran.
Jangan salahkan mereka, dan jangan juga kita saling
menyalahkan. Mari kita menyikapinya dengan bijak. Setiap kita tentu pernah
mengalami yang namanya sekolah. Tempat berkumpul anak bangsa untuk mewujudkan
cita-citanya. Merekapun berharap lulus dari sekolah dengan berbekal
pengetahuan, keterampilan, dan tentu saja budi pekerti yang luhur.
Namun sayang, tujuan bersekolah itu tak terlihat lagi.
Berbagai media menyoroti tawuran antar pelajar. Sedih sekali melihat mereka
berkelahi. Sesama anak bangsa saling berkelahi. Kita lihat, cuma hanya karena
persoalan kecil, celurit keluar dari sarangnya. Seolah lupa, bahwa hidup hanya
sekali saja. Kalah jadi abu, menang jadi arang. Tak ada yang diuntungkan dari
tawuran. Semua pihak mengalami kerugian.
Orang tua menyekolahkan anak agar mampu mandiri,
menjadi manusia terampil, dan kelak mampu bekerja dengan minat dan keahliannya.
Tentu mereka akan kecewa bila melihat anaknya terlibat tawuran, dan menjadi
korban tawuran antar pelajar. Kalau saya adalah orang tua yang mengalaminya,
tentu akan kecewa, dan marah dengan kelakuan anak sendiri. Tapi, apakah marah
dapat menyelesaikan persoalan anak kita?
Anak kita pada dasarnya adalah anak yang baik.
Lingkunganlah yang membuat dirinya tidak baik. Bisa di lingkungan rumah,
keluarga, sekolah, dan masyarakat. Semuanya bisa saling terkait karena manusia
adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Tak ada manusia yang sanggup
hidup sendiri.
Persoalannya adalah mengapa tawuran pelajar harus
terjadi? Tidak adakah rasa saling cinta mencintai, dan rasa saling sayang
menyayangi di antara sesama manusia? Tak adakah pengamalan dari sila kedua
pancasila, kemanusian yang adil dan beradab?
Pasti ada yang salah dalam pendidikan anak kita. Mulai
dari pendidikan dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Hal yang pasti, belum
banyak orang tua yang menjalankan tugasnya dengan baik. Belum banyak guru yang
mampu menjadi tauladan buat anak didiknya. Sehingga omongannya di dengar, dan
mereka akan menjauh dari tawuran antar pelajar. Guru dan orang tua belum
mampu menjadi idola mereka.
Minimnya keteladanan dari tokoh masyarakat, membuat
para remaja akhirnya mengidolakan tokoh-tokoh lain yang membuat kita tak
percaya kalau mereka memang telah menjadi followernya. Idola mereka tidak lagi
ayah dan ibunya. Idola mereka tidak lagi bapak dan ibu gurunya. Idola mereka
adalah para artis hebat yang membuat mereka tergila-gila dibuatnya. Kita akan
termehek-mehek bila melihat mereka bertemu dengan idola mereka. Seperti makhluk
yang bertemu dengan penciptaNya.
Dunia remaja adalah dunia yang penuh dengan pesona.
Potensi unik, dan tenaga mereka sungguh luar biasa. Bila salah dalam
mengarahkannya, mereka akan menjadi preman yang kejam, dan tak peduli dengan
sesama.
Pengalaman menjadi seorang pendidik, bila anak sekolah waktunya sudah habis untuk kegiatan di sekolah, baik intra kurikuler mapun kegiatan ekstrakurikuler, pastilah anak itu menjadi baik. Potensi unik mereka akan tersalurkan dengan baik sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing. Tak akan pernah terpikirkan untuk tawuran, karena hobi dan minat mereka sudah tersalurkan. Merekapun akan berpikir 2 kali untuk melakukan tawuran, karena hanya merepotkan diri sendiri.
Pengalaman menjadi seorang pendidik, bila anak sekolah waktunya sudah habis untuk kegiatan di sekolah, baik intra kurikuler mapun kegiatan ekstrakurikuler, pastilah anak itu menjadi baik. Potensi unik mereka akan tersalurkan dengan baik sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing. Tak akan pernah terpikirkan untuk tawuran, karena hobi dan minat mereka sudah tersalurkan. Merekapun akan berpikir 2 kali untuk melakukan tawuran, karena hanya merepotkan diri sendiri.
Sewaktu penulis menjadi pelajar STM (sekarang SMK)
dahulu, banyak pelajar yang sudah terlibat tawuran. Tawuran terjadi biasanya
usai pulang sekolah. Kami harus bertahan karena diserang tiba-tiba dari sekolah
lain. Kalau sudah begitu, tak ada jalan lain kecuali melawan dengan cara
kesatria. Cuma sayangnya, banyak diantara mereka yang membawa batu, kayu, dan
senjata tajam. Kalau sudah begitu, ambil langkah seribu menjadi pilihan
favorit. Sebab menang melawan mereka pun tiada gunanya. Hanya membuang waktu
percuma, dan melukai diri saja. Biarlah mereka berkata kami pengecut. Kalah
untuk menang jauh lebih berarti daripada kami harus berkelahi.
Untunglah saya bertemu dengan para guru tangguh
berhati cahaya. Di sekolah kami di doktrin untuk tidak tawuran. Kalau terpaksa
harus tawuran karena diserang, kami lebih baik mengambil sikap mundur. Beberapa
guru tampil untuk mencari solusi damai. Sekolah kami pun akhirnya damai dan
tentram. Tak ada tawuran di sekolah kami selama saya bersekolah di sekolah itu.
sampai saat inipun saya tak pernah mendengar ada tawuran di sekolah saya dulu
yang kini menjadi SMKN 5 Jakarta.
Di sekolah lain bahkan diterapkan peraturan. Siapa
saja siswa yang telibat tawuran, maka sanksinya adalah dikeluarkan dari
sekolah. Sepintas terlihat kejam, tapi hasilnya dahsyat. Tak ada satupun siswa
yang mau tawuran antar pelajar. Kalaupun ada, hanya perkelahian kecil saja
antar sesama siswa. Tak menjalar ke sekolah lain sehingga menyebabkan tawuran.
Pak dedi dwitagama kepala SMKN 29 Jakarta, sudah
mempraktekkannya di sekolah SMKN 29 yang dipimpinnya. Tak ada anak yang berani
tawuran, karena sanksinya dikeluarkan dari sekolah. Kepala sekolah harus tegas,
dan membuat aturan di tahun ajaran baru. Merekapun sebagai pelajar harus tanda
tangan dengan materai 6000 sebagai bukti perjanjian mereka dengan sekolah. Bila
melanggar, cukup diperlihatkan saja perjanjian yang sudah mereka tanda tangani.
Dari sisi hukum sekolah menang, dan tak ada lagi siswa yang berani tawuran
apapun alasannya.
Di sekolah Labshool Jakarta tempat penulis mendidik
anak bangsa, tak ada perjanjian siswa dikeluarkan dari sekolah karena tawuran
pelajar. Namun kami fokus dengan pendidikan karakter yang sudah
masuk dalam budaya sekolah kami. Iman, ilmu, dan amal bukan hanya slogan
semata. Semua itu diterapkan dalam kegiatan akademis dan non akademis. Alhasil,
sekolah kami tak pernah telibat tawuran antar pelajar sekolah lain. Kalaupun
ada terjadi, itu semua sudah diantisipasi oleh para wakil kepala sekolah bidang
kesiswaan.
Tawuran pelajar terjadi, karena anak belum menemukan
potensi unik dalam dirinya. Akhirnya, potensi itu menjadi liar dan tak
terkendali. Akibatnya, anak merasa menjadi jagoan, dan tak ada orang lain yang
lebih jago darinya. Bila guru tak mampu menjadi pemandu untuk anak-anak ini,
maka berakibat mereka tak menemukan minat dan bakatnya. Pada akhirnya,
kenakalan remaja yang terjadi. Mereka merasa tidak puas dengan keadaan di
sekelilingnya. Bila itu terjadi, sekolah menjadi beban buat mereka, dan bukan
tantangan untuk meraih manisnya ilmu. Sekolah tak ubahnya seperti hutan
belantara, dimana yang kuat dia yang berkuasa. Padahal seharusnya, sekolah
menjadi peradaban ilmiah karena ada suasana menyenangkan di rumah keduanya.
Sekolah harus menjadi rumah kedua buat peserta didik kita.
Sekolah
harus menjadi rumah kedua peserta didik kita
Akhirnya, tawuran pelajar yang menyedihkan harus kita
sikapi dengan bijaksana. Semua anak adalah juara, dan guru di sekolah harus
mampu mengembangkan potensi unik mereka. Para orang tua harus lebih
memperhatikan buah hatinya, dan harus mampu menjadi idola buat putra/putrinya.
Bila anak bangga dengan kedua orang tuanya, maka diapun akan bangga dengan
dirinya yang melahirkan prestasi dari apa yang diminatinya.
Salam blogger persahabatan
Omjay
http://wijayalabs.com
Omjay
http://wijayalabs.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar